Sejak pertama kali diselenggarakan pada tahun 2016 sebagai bagian dari Proyek Seni AKUMASSA Chronicle Lombok Utara, tahun ini Bangsal Menggawe kembali diselenggarakan. Mengangkat tema Membasaq pada tahun 2016 dan Siq-Siq O Bungkuk pada tahun 2017, Bangsal Menggawe 2019 mengangkat Museum Dongeng sebagai temanya. Festival ini telah berlangsung sepanjang bulan Februari 2019 hingga hari puncaknya pada tanggal 2 Maret 2019 silam. Terdapat format yang berbeda dalam penyelenggaran festival tahun ini sebagai respons pada situasi pasca-bencana alam selama Agustus 2018 silam. Bangsal Menggawe: Museum Dongeng, sebagai festival, tidak lagi mengundang seniman dari luar kawasan Pemenang untuk hadir dan memproduksi karya seni tertentu. Dalam eksperimentasinya di tahun ini, Otty Widasari dan Muhammad Sibawaihi sebagai ko-kurator meletakkan fokusnya pada upaya pengaktivasian kembali kerja-kerja kreatif (yang melibatkan) warga pasca-bencana alam. Inisiatif-inisiatif semacam itu telah ada di warga sebelumnya dalam dua kali penyelenggaraan Bangsal Menggawe. Nmaun kali ini initsiatif tersebut dipertajam dengan meletakkan seniman-seniman yang hadir bukal lagi sebagai fasilitator, melainkan membantu mewujudkan ide-ide karya yang sudah ada di warga Kecamatan Pemenang, dan sekitarnya. Dalam rangkaian Bangsal Menggawe: Museum Dongeng pada tahun ini telah terselenggara beberapa proyek berkelanjutan. Muhammad Imran (Pegiat Aksara Tani) dan Hamdani (Seniman Video) yang berkolaborasi dengan Dhuha Ramadhani (Forum Lenteng), telah meluncurkan Berugaq TV pada Kamis, 28 Februari 2019. Proyek ini berfokus pada upaya pengelolaan arsip yang dimiliki dan diproduksi Yayasan Pasirputih juga warga khususnya tentang Kecamatan Pemenang sejak tahun 2010. Upaya membangun dan merawat kesadaran bermedia terlebih dalam aspek produksi, ko-produksi dan distribusi pengetahuan menjadi nadi dari proyek ini. Dalam konteks televisi sebagai media, kemandirian memproduksi tontonan alternatif adalah capaian jangka pendek yang hendak diraih dalam festival ini sebagai awalan menuju kesadaran lanjutan lainnya. Dua seniman teater, Martini Supiana dan Muhammad Gozali, berkolaborasi dengan seniman performance art, Pingkan Polla, membuat proyek yang diberi nama Teater Isin Angsat. Dalam bahasa lokal, susunan kata “isin angsat” dimaknai sebagai segala sesuatu yang dibawa oleh pasang dan tertinggal saat surutnya air laut. Secara materi ia dapat berupa benda-benda pula organisme pesisir yang terkadang bermanfaat dan/atau tidak memiliki manfaat yang terang. Gagasan ini lantas diangkat ke dalam performance sebagai tema, yang dipentaskan di berbagai ruang; mulai dari ruang privat, ruang semi privat, ruang publik tertutup, dan ruang publik terbuka secara berurutan dan dengan konsep yang terus berkembang. Kedelapan nomor pementasan ini, Teater Isin Angsat mencoba untuk merespon keseharian warga Pemenang dan menariknya ke dalam bingkaian persinggungan antara seni teater dan performance art. Keberadaan bunyi terkadang kita anggap sebagai sesuatu yang begitu saja dan apa adanya. Meskipun ia berada di sekitar kita, hanya bunyi-bunyi tertentu yang karena kehadirannya memancing respons tertentu dari kita sebagai pendengar. Akan tetapi bunya dapat dilihat keberadaannya secara lebih kontekstual. Bahwa sejumlah kehadiran bunyi juga berkaitan dengan kerja-kerja manusia, tidak hanya alam. Terkait merespon bunyi, beberapa pegiat Yayasan Pasirputih dan warga sekitar berkolaborasi dengan Theo Nugraha dalam memproduksi sebuah zine yang diberi judul “Bunyi Sang Pemenang”. Zine ini berisi teks-teks dan sketsa-sketsa bunyi yang ada dan ditemui di sekitar Kecamatan Pemenang selama proses residensi Bangsal Menggawe 2019. Lalu Mintarja, seorang warga Dusun Karang Desa memiliki ide untuk membuat sebuah terompet besar. Dalam kesehariannya, pasca-bencana alam melanda pulau Lombok, khususnya di Kecamatan Pemenang, Kabupaten Lombok Utara yang menjadi daerah paling terdampak gempa, Mintarja sudah membuat sekitar 40 rumah tahan gempa dengan bambu sebagai material utamanya. Pegiat komunitas Gerbong Tua ini juga aktif bersama para pemuda yang bergerak di bidang sosial, dan seni di antaranya. Pertemuannya dengan Maria Christina Silalahi kemudian membuat ide ini kembali dibicarakan. Dalam diskusi terkait penentuan material apa yang akan digunakan dalam memproduksinya, muncul ide tentang penggunaan bambu sebagai rangkanya dan botol plastik bekas kemasan air minum sebagai penampang luarnya. Kita juga dapat melihat kecenderungan artistik Maria di sini. Dengan melihat karyanya yang terakhir, yaitu “Di Sini Sudah Sedikit, Di Sana Masih Banyak,” kita dapat melihat konsistensinya dalam membicarakan persoalan yang ada di sekitar perusahan air minum. Yang membedakan kemudian botol plastik bekas di Kecamatan Pemenang tidak menjadi sampah melainkan komoditas yang bernilai ekonomi. Mintarja memberi fokus tertentu pada bunyi. Ia hendak merespon bunyi di jalanan hingga pengeras suara yang ada di sekitarnya. Mereka kemudian berhasil membuat sebuah terompet besar yang bernama “Tapa Kelomang”. Bangsal Menggawe: Museum Dongeng kembali menjadi pertemuan bagi komunitas jaringan dari AKUMASSA yaitu Komunitas Gubuak Kopi (diwakili Albert Rahman Putra dan Joe Datuak) dan termasuk Yayasan Pasirputih. Sementara itu, setelah menggelar banyak latihan di berbagai tempat, baik itu di sekolah sampai ke kantor pemerintahan, Zakaria bersama para pegiat dari Sanggar Panca Pesona menggelar Senam Tari Rudat bersama di pantai sebelah timur Pelabuhan Bangsal pada hari Sabtu, 2 Maret 2019. Senam digunakan sebagai strategi mereka dalam menggaungkan kembali semangat Tari Rudat ke masyarakat. Sore harinya dilangsungkan partai Final Bangsal Cup U-13 Tahun 2019. Rajib Hari yang menjadi koordinator mencoba menyediakan wadah bagi bibit-bibit pesepak bola di Kecamatan Pemenang dan sekitarnya. Dalam Bangsal Cup tahun ini, para panitia membuat lapangan sepak bolanya sendiri dengan memanfaatkan lahan penuh ilalang yang sedang tak digunakan. Melalui festival tahun ini, Anggraeni Widhiasih telah memulai proyek penelitiannya terkait ekonomi dalam wajah yang lain. Ia hendak membaca hal itu dalam konteks sosial budaya masyarakat Pemenang dalam rangka kuratorial Bangsal Menggawe. Dalam bingkaian kuratorial, seniman yang datang dari luar kawasan Lombok juga diharuskan membiayai dirinya secara mandiri. Aspek ini menjadi salah satu objek penelitian Anggraeni. Sedangkan Manshur Zikri, secara lebih luas akan melihat keseluruhan proyek ini dalam perspektif yang lebih teoritis. Dalam situasi pasca gempa, penutupan Bangsal Menggawe kali ini tidak diselenggarakan dalam bentuk pawai atau pesta. Acara puncaknya adalah berdoa bersama. Umat dari agama Hindu, Buddha, dan Islam mengambil posisinya masing-masing di Pelabuhan Bangsal kemudian berdoa dipimpin oleh tokoh agamanya masing-masing. Lokasi yang menjadi tempat berdoa ini diterangi oleh 1.000 buah obor yang dibuat secara bergotong-royong oleh remaja-remaja di Kecamatan Pemenang dimotori oleh Komunitas Bale Kebon dan Albert. Selepas berdoa, seluruh warga yang hadir kemudian bergerak bersama menuju dermaga. Saat Tapa Kelomang berbunyi, tokoh-tokoh masyarakat bersama-sama mengangkat obor mereka untuk menyalakan Obor Beleq yang menjadi penanda kerekatan hubungan dan kekuatan antar warga pasca-gempa.*** Year North Lombok, Indonesia
2019
Bangsal Menggawe: Museum Dongeng