Forum Festival, simposium yang diselenggarakan sebagai bagian dari ARKIPEL Garden of Earthly Delights – Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival 2024, menjadi wadah untuk merenungkan kembali signifikansi pengalaman sensori manusia. Berlangsung di Universitas Indonesia pada tanggal 22-23 Agustus 2024, simposium ini menghadirkan sineas, seniman, kurator, kritikus, komunitas, dan akademisi dari berbagai latar belakang untuk berdialog dan mengeksplorasi dimensi sensori, sebuah aspek pengalaman manusia yang kerap terabaikan. Selama beberapa hari, para partisipan diajak untuk terlibat dalam diskusi mendalam tentang bagaimana manusia merasakan dunia. Melalui serangkaian pidato kunci, panel diskusi, dan presentasi karya seni, simposium ini menyajikan beragam perspektif mengenai hubungan antara tubuh, ruang, waktu, dan teknologi, serta pengaruh faktor sosial, budaya, dan teknologi terhadap pengalaman sensori manusia. Pidato Kunci yang disampaikan pada awal penyelenggaraan Forum Festival, oleh seniman dan aktivis seni, Nindityo Adipurnomo, menjadi titik tolak bagi seluruh diskusi dalam Forum Festival ARKIPEL. Melalui paparannya, Nindityo merenungkan kembali hubungan antara tubuh, ruang, dan waktu. Ia menekankan bahwa tubuh adalah alat utama untuk mengalami dunia dan bahwa manusia cenderung mengabaikan peran penting tubuh dalam proses pembentukan pengetahuan. Nindityo mengatakan untuk lebih sadar akan sensasi fisik dan bagaimana sensasi ini memengaruhi cara berpikir dan merasa. Lebih lanjut, Nindityo mempertanyakan asumsi-asumsi yang mendasari cara manusia memahami dunia. Ia merujuk pada pemikiran para filsuf untuk menunjukkan bagaimana cara manusia berpikir tentang realitas telah berubah seiring waktu. Ia juga menyoroti pentingnya menjaga sikap kritis terhadap pengetahuan yang dimiliki dan terus berupaya untuk menggali makna dari pengalaman. Pidato Kunci oleh Nindityo Adipurnomo menjadi semacam landasan bagi seluruh diskusi dalam Forum Festival. Visi beliau tentang seni sebagai pengalaman yang melibatkan seluruh tubuh dan indra menjadi tema sentral yang dikaji lebih lanjut dalam panel-panel diskusi. Panel pertama, Merasakan Indra Kita, yang dimoderatori oleh Adi Osman, menggali lebih dalam tentang bagaimana pengalaman sensori manusia berubah seiring berjalannya waktu dan bagaimana faktor-faktor seperti teknologi dan budaya mempengaruhi cara manusia merasakan dunia. Pengalaman menonton wayang kulit yang dibagikan oleh St. Sunardi menjadi contoh bagaimana pengalaman sensorik secara langsung dan yang dimediasi oleh teknologi memiliki stimulus berbeda terhadap dirinya. Ia kemudian menyimpulkan bahwa manusia sedang mengalami transisi menuju era pasca-manusia, dan bagaimana daya rasa manusia yang dulu menjadi pusat identitas kini terancam terpinggirkan. Selain itu, pembicara lain juga membahas bagaimana konsep rasa telah mengalami transformasi. Aryo Danusiri, dengan pendekatan antropologi sensorik, menunjukkan bagaimana pengalaman sensorik tidak lepas dari konteks sosial dan politik. Sementara itu, Dhianita Kusuma Pertiwi menganalisis bagaimana tradisi seni pertunjukan seperti wayang kulit mengalami perubahan dalam hal bentuk, durasi, dan penggunaan teknologi. Panel kedua, Sensasi Kota, dimoderatori oleh Ali Satri Efendi, mengeksplorasi bagaimana lingkungan urban membentuk dan mempengaruhi pengalaman sensori. Pembicara dalam panel ini menyajikan perspektif mengenai bagaimana sejarah, budaya, dan arsitektur kota membentuk cara masyarakat merasakan ruang publik. Marco Kusumawijaya menyoroti bagaimana perkembangan persepsi tentang kota memiliki konteks historis yang membentuk maknanya. Ia juga membicarakan bagaimana dalam konteks sejarah Indonesia, tradisi dan kolonial membentuk cara manusia memersepsikan lingkungan. Sementara, Yola Yulfianti, berbagi proyek seninya yang mengeksplorasi bagaimana individu yang tumbuh di lingkungan urban dapat merasa terputus dari identitas budaya mereka. Ia menggunakan tubuhnya sebagai alat untuk merespons dan mentransformasi pengalaman perkotaan, mencari cara untuk menghubungkan kembali dengan alam dan tradisi. Kemudian, Ali Hussein AlAdawy, melalui analisisnya terhadap film, menunjukkan bagaimana sinema menjadi media yang mengungkapkan dinamika sosial dan budaya di perkotaan. Panel ketiga, Gerakan Sensibel, dimoderatori oleh Alifah Melisa, menyoroti bagaimana para seniman memanfaatkan tubuh, teknologi, dan arsip untuk merespons fenomena-fenomena yang terjadi di lingkungan mereka. Para pembicara, Taufiqurrahman dari Mutual Study, Ignatius Suluh dari Proyek Edisi, Wahyu Budiman Dasta dari Sigisora, dengan latar belakang dan pendekatan yang berbeda, menunjukkan bagaimana seni menjadi alat untuk memahami dan merespons isu-isu sosial, budaya, dan lingkungan. Salah satu poin utama yang muncul dalam diskusi ini adalah pentingnya pengalaman sensorik dalam memahami lingkungan. Para seniman ini menggunakan tubuh mereka sebagai instrumen untuk merasakan dan merespons lingkungan sekitar. Mereka juga memanfaatkan teknologi seperti rekaman suara dan video untuk menangkap dan mendokumentasikan pengalaman sensorik mereka. Panel keempat, Meretas Teknologi Media dengan Pendekatan Vernakular, dimoderatori oleh Luthfan Nur Rochman, menghadirkan perbincangan tentang bagaimana teknologi diadaptasi dan dimanfaatkan untuk menyoal identitas lokal dan mengatasi isu-isu kontemporer. Pembicara dalam panel ini berfokus pada bagaimana seniman dan pembuat karya memanfaatkan teknologi dengan cara yang unik dan personal, sering kali dengan menggabungkan praktik tradisional dengan alat-alat modern. Misalnya, Otty Widasari membandingkan kisah seorang mekanik desa yang berhasil membuat pesawat dengan penyair Chairil Anwar, keduanya dianggap sebagai sosok yang berani menantang konvensi pada masanya. Nguyen Trinh Thi, melalui karyanya, mengeksplorasi hubungan antara manusia dan alam dengan menggunakan suara sungai Mekong sebagai instrumen musik. Sementara itu, Lintang Radittya mengembangkan konsep Futurisme Jawa yang menggabungkan teknologi modern dengan mitologi Jawa. Panel kelima, Estetika Multisensori, dimoderatori oleh Helmi Yusron, menggali lebih dalam tentang pengalaman multisensori dalam kehidupan dan bagaimana seni menjadi alat untuk mengeksplorasi dimensi sensori yang sering kali terabaikan. Salah satu poin yang muncul dalam diskusi ini adalah bagaimana bahasa dan budaya telah membentuk cara manusia merasakan dan memahami dunia. Afrizal Malna membahas bagaimana pergeseran dari bahasa lisan ke bahasa tulisan telah mengurangi dimensi sensorik dalam komunikasi. Ia berargumen bahwa bahasa lisan memungkinkan manusia untuk mengalami dunia secara lebih holistik, melibatkan tidak hanya pendengaran, tetapi juga tubuh dan emosi. Suk-Jun Kim memperluas diskusi ini dengan membahas konsep “pure listener“. Ia berpendapat bahwa mendengarkan secara mendalam dapat menghasilkan pengetahuan yang bersifat abstrak dan melebihi pemahaman visual. Ia juga menekankan pentingnya mendengarkan sebagai praktik sosial dan budaya, terutama di kalangan masyarakat yang terpinggirkan. Veronika Kusumaryati menawarkan contoh konkret tentang bagaimana seni visual dapat melampaui batas-batas konvensional dengan memanfaatkan berbagai media dan teknologi. Forum Festival ARKIPEL menghadirkan sebuah ruang refleksi yang mendalam tentang pengalaman sensori manusia. Melalui serangkaian diskusi, simposium ini menyoroti betapa pentingnya sensori dalam membentuk persepsi manusia terhadap dunia. Mulai dari eksplorasi pengalaman pribadi tentang perubahan daya rasa hingga analisis mendalam tentang bagaimana lingkungan urban membentuk cara masyarakat merasakan ruang. Dalam simposium ini juga menekankan pentingnya melibatkan publik dalam menciptakan lingkungan yang lebih sensitif terhadap pengalaman sensori, serta peran seni sebagai alat untuk menantang norma-norma budaya yang membatasi ekspresi sensori. Tahun Jakarta, Indonesia
2024
Forum Festival ARKIPEL Garden of Earthly Delights – Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival