Pameran Keliling Kultursinema Keempat – Semarang, 2019

Pameran Keliling Kultursinema Keempat – Semarang, 2019

Pameran Keliling Kultursinema pada tahun ini diakhiri di Kota Semarang. Pameran Keliling Kultursinema terakhir ini dibuka dengan sesi diskusi dengan tema “Ruang-Ruang Menonton dan Arsip Filem” pada 1 Mei 2019, di Grobak Hysteria. Beberapa komunitas yang aktif memutar filem di sekitaran Kota Semarang hadir di panel ini sebagai pembicara, seperti Erma Yuliati, seorang pemrogram filem dari Sineroom, Wan Fajar, pemrogram filem dari Grobak Hysteria, dan Abdul Aziz Kurniawan, ketua Eling Cinema. Wahyu Budiman Dasta, salah satu anggota Tim Kultursinema, menjadi moderator di panel ini.

Erma Yuliati berbagi mengenai ruang putar Sineroom yang menayangkan filem-filem alternatif di Semarang. Selain itu Sineroom juga mendiskusikan filem-filem yang diputar, dan juga mempertemukan filem dengan medium lain lewat pameran dan podcast. Kemudian, Abdul Aziz Kurniawan berbagi mengenai Eling Cinema yang suka memutar filem alternative. Eling Cinema juga memperjuangkan filem buatan sineas-sineas Semarang untuk dapat diputar di kampung-kampung Kota Semarang. Selain itu, mereka juga mengadakan lokakarya bagi anak-anak di sekitaran kampung. Wan Fajar dari Grobak Hysteria menceritakan pengalamannya dalam memutar filem di kampung-kampung untuk mengaktivasi kampung. Selain pemutaran di kampung, tentu juga diadakan pemutaran filem di markas Grobak Hysteria di daerah Bendan Ngisor. Pemutaran filem di markas Grobak Hysteria ini dilengkapi dengan diskusi filem dengan pembicara ahli.

Pada hari kedua, tanggal 2 Mei 2019, diputar dua buah filem. Filem pertama adalah Tie Pat Kai Kawin (Siloeman Babi Perang Siloeman Monjet) yang disutradarai oleh The Teng Chun pada tahun 1935. Sang sutradara menggunakan efek-efek visual dalam filem ini, dan tak jarang para penonton dibuat tertawa oleh visual-visual yang dihadirkan. Filem kedua yang diputar adalah Matjan Berbisik (The Whispering Tiger). Filem ini disutradarai oleh Tan Tjoei Hock pada tahun 1940. Filem ini memiliki judul dalam bahasa Belanda, De Fluisterende Tijger. Pascapemutaran, beberapa penonton terlihat mendiskusikan kedua filem tersebut. Mengenai filem Tie Pat Kai Kawin, salah seorang penonton berkata bahwa ia terkesima akan cara si sutradara memainkan efek visual dengan stop-motion dan scratch pada film seluloid-nya di tahun 1930-an. Mengenai filem Matjan Berbisik, salah satu penonton mengemukakan pendapat, bahwa karakter penokohan yang dibangun oleh sutradara hadir di menit-menit awal filem dengan pengadeganan tanpa narasi berlebihan.

Kemudian, pada 3 Mei 2019 diadakan lagi program diskusi panel kedua yang berjudul “Representasi dan Reproduksi Arsip”. Prashasti Wilujeng Putri berperan sebagai moderator di panel ini, dan menundang beberapa orang sebagai pembicara, seperti Afrian Purnama dari Tim Kultursinema, Tries Supardi yang adalah seorang seniman video, dan Arief Hadinata yang juga adalah seorang seniman visual dan aktif di Hysteria. Afrian Purnama berbagi mengenai bingkaian dan metode artistik dalam pameran Kultursinema. Ia juga berbagi tentang pentingnya arsip dan bagaimana pengarsipan yang buruk di Indonesia justru menjadi peluang bagi kita untuk bebas dalam menginterpretasi arsip. Kemudian Tries Supardi mempresentasikan proyek mengumpulkan arsip di Karimunjawa untuk kemudian didistribusikan kepada warga sekitar dalam bentuk pameran, buku, dan filem. Proyek ini masih berlangsung terus hingga sekarang. Pembicara ketiga, Arief Hadinata a.k.a Hokage mempresentasikan karyanya bersama Hysteria dalam mengaktivasi warga dan ruang di Kampung Bustaman, salah satunya dengan cara membuat arsip dari mitos yang ada di kampung tersebut.

Keesokan harinya, tanggal 4 Mei 2019, program pemutaran filem kedua diadakan. Kali itu filem yang diputar adalah Calling Australia karya Hinatsu Eitaro tahun 1943, Nippon Present karya Jaap Speyer tahun 1945, dan Indonesia Calling karya Joris Ivens tahun 1946. Filem Calling Australia dibuat oleh Hinatsu Eitaro alias Huyung di tahun 1943. Huyung membuat filem propaganda tersebut atas perintah Nippon Eigasha, lembaga yang khusus memproduksi dan mendistribusikan filem-filem propaganda ke seluruh Indonesia, baik dalam format layar tancap maupun pemutaran-pemutaran di ruang tertutup. Filem ini mengisahkan kondisi para tentara Eropa di dalam tahanan yang penuh dengan kemewahan dan kehidupan yang bahagia. Filem ini kemudian didekonstruksi oleh filem Nippon Present (a.k.a. Nippon Calls. 1945) yang dibuat oleh Jaap Speyer dari Belanda. Nippon Present menggunakan filem Calling Australia secara utuh sebagai materi utama filemnya. Filem tersebut membahas adegan-adegan di dalam filem Calling Australia yang dianggap sebagai sebuah kebohongan. Di dalam filem tersebut, Jaap Speyer menghadirkan para pemain di dalam filem Calling Australia untuk menceritakan kebenaran versi Belanda atau sekutu NICA. Filem Nippon Present merupakan filem di dalam filem. Yang juga menarik bahwa, filem Calling Australia dibuka oleh pernyataan baik melalui gambar maupun narator, bahwa filem itu dibuat sendiri oleh tawanan perang Australia dan Eropa. Di tahun yang sama, seorang sutradara Belanda Joris Ivens filem Indonesia Calling (1946) yang diproduksinya di pelabuhan Australia. Joris Ivens yang lebih mendukung kemerdekaan Indonesia di tahun 1945 dengan membuat filem tersebut, telah menyebabkannya terusir dari negeri tempatnya lahir, Belanda. Hingga hari ini, filem Indonesia Calling menjadi filem yang sangat penting bagi Indonesia. Tidak hanya menjadi dokumen faktual sejarah, tetapi juga kontribusi estetika sinemanya bagi perkembangan sinema di Indonesia.

Pada hari terakhir, Pameran Keliling Kultursinema ditutup dengan diskusi mengenai “Penulisan Sejarah dan Arsip”. M. Bayu Widagdo, seorang pengajar Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro, dan M. Yogi Fajri, seorang blogger sejarah hadir sebagai pembicara. Dini Adanurani selaku moderator menggiring diskusi tentang sejarah filem yang mencakup sejarah teknologi, sejarah estetika, sosial, dan politik. Kedua pembicara sepakat bahwa penulisan sejarah filem Indonesia masih menyisakan lubang kajian yang besar yaitu sejarah estetika filem Indonesia. M. Yogi Fajri sendiri mengemukakan tentang pencarian kesejarahan di luar dari ranah akademis, sedangkan M. Bayu Widagdo dalam paparannya mengundang pemirsa untuk mengulik definisi tentang apa itu sejarah.

Tahun
2019

Semarang, Indonesia

X