Buy Ambien Canada Buy Zolpidem Online Zolpidem Mastercard Ambien Mastercard

“Archives, Activism, Aesthetic” Upaya Pembacaan atas Kultur Sinema Asia Tenggara

“Archives, Activism, Aesthetic” Upaya Pembacaan atas Kultur Sinema Asia Tenggara

Pada 14-19 Maret 2018 lalu, dua anggota Forum Lenteng, yakni Hafiz dan Dhuha Ramadhani—atas dukungan dari Pusbang Film Kemendikbud RI—terlibat dalam Glasgow Short Film Festival, di Glasgow, Skotlandia. Sebagai bagian dalam rangkaian festival filem ini turut dilaksanakan sebuah simposium yang berjudul “Archives, Activism, Aesthetics.” Simposium ini merupakan hasil kerja kolaborasi antara Glasgow Short Film Festival, Southeast Asian Cinema Research Network (SEACRN), Association of Southeast Asian Cinemas Conference (ASEACC), Arts and Humanities Research Council dan Universitas St. Andrews, dan Goethe Institut Glasgow. Simposium dihadiri oleh para pembuat filem, aktivis filem, dan sejumlah akademisi yang secara lebih khusus berfokus pada perkembangan sinema di Asia Tenggara. Turut hadir bersama Forum Lenteng beberapa komunitas lain dari Asia Tenggara di antaranya Hanoi DocLab, Vietnam; Anti-Archive, Kamboja; Save Myanmar Cinema, Myanmar; dan The Thai Film Archive, Thailand.

Simposium yang berjalan selama dua hari ini dibagi menjadi dua tema besar. Pada 16 Maret 2018 di CCA (Centre of Contemporary Art), simposium mengambil tema “Archival Practices and Found Footage in Artists’ Film”. Pada 17 Maret 2018 di Kelvin Hall Theatre tema yang diangkat adalah “New Directions: Grassroots Film Communities and Activism.” Pada Panel 1: “Grassroots Film Communities and New Directions,” Forum Lenteng menyajikan presentasi yang berjudul “Looking at the Archives, Looking at Memory Objectively.”

Hafiz memberikan pemaparan perihal kerja-kerja Forum Lenteng yang berkaitan dengan arsip dan bagaimana Forum Lenteng merespon arsip tersebut. Dalam paparan disajikan beberapa proyek individu maupun proyek kolaboratif dari Forum Lenteng. Karya pertama adalah filem karya Hafiz berjudul “Anak Sabiran, Di Balik Cahaya Gemerlapan (Sang Arsip)” (2013). Filem ini menggali aktivitas pengarsipan yang dilakukan oleh Misbach Yusa Biran melalui Sinematek Indonesia yang dibentuknya. Proyek kedua yang dipaparkan adalah Videobase yang meneliti sejarah teknologi video di Indonesia dan bagaimana konteks perkembangan sosio-kulturalnya.

Karya ketiga yang dipaparkan adalah “Golden Memories” (2018) yang merekam perkembangan home movie atau filem rumahan di Indonesia. Mencari jejak-jejaknya melalui pertemuan dengan Kwee Zwan Liang dan Rusdi Attamimi. “Golden Memories” berusaha  menggali lebih jauh tentang estetika dan ontologi filem rumahan di samping bagaimana kultur sinema yang turut dibangun oleh publik. Terkait arsip, khususnya arsip yang hilang, Hafiz juga memaparkan kerja dalam progres (work in progress) karya Akbar Yumni yang berjudul “Menonton Filem Turang.” Akbar mengemas upaya rekonstruksi atas filem Turang (1957) karya Bachtiar Siagian ke dalam seni performans.

Selain memaparkan respon-respon terhadap arsip ke dalam sebentuk karya, Hafiz juga memaparkan respon berupa pameran: Kultursinema. Kultursinema merupakan upaya Forum Lenteng untuk mengumpulkan, memetakan, dan membaca wacana dalam perkembangan sejarah sinema Indonesia. Menjadikan Kultursinema sebagai eksperimentasi dalam mencari kemungkinan untuk menampilkan arsip sinema, memberikan makna pada arsip tersebut sebagai sebuah pernyataan politis. Presentasi Hafiz ditutup dengan paparan tentang proyek jangka panjang Otty Widasari yang mengeksplorasi hubungan antara filem, arsip, aksi dokumentasi dan representasional, dan fenomena reproduktif. Otty merespon arsip kolonial tentang kehadiran dan kerja-kerja kamera kolonial di Indonesia. Membaca sejarah sebagai sesuatu yang tidak kaku dan sederhana, menawarkan pembacaan yang lain terhadap sejarah melalui arsip filem.

Simposium ini merupakan satu dari lima program yang berfokus pada sinema Asia Tenggara. Keempat program lainnya adalah Kalampag Tracking Agency: Experimental Films & Videos From The Philippines (1985-2015), Death and Killing in Southeast Asia, focus on Nguyễn Trinh Thi, dan program epik All-Nighter dari Apichatpong Weerasethakul. Keseluruhan rangkaian Glasgow Short Film Festival berakhir pada 18 Maret 2018 malam. Festival ditutup dengan Malam Penghargaan di Civic House. Filem-filem yang mendapatkan penghargaan turut diputar malam itu. Malam penghargaan Glasgow Short Film Festival dikemas secara dekat dan hangat. Panggung dibuat sederhana, kursi disusun rapat-rapat. Di luar, angin bertiup-tiup membawa salju.

Year
2018

Glasgow, Skotlandia

X