Pameran Keliling Kultursinema Kedua – Yogyakarta, 2019

Pameran Keliling Kultursinema Kedua – Yogyakarta, 2019

Perjalanan Kultursinema dalam pameran keliling di tahun 2019 telah tiba di kota kedua, yaitu Yogyakarta. Pada 3 April 2019, bertempat di Kedai Kebun Forum (KKF), Pameran Keliling Kultursinema telah dibuka untuk umum dan dibuka dengan sesi diskusi panel pertama dengan tema “Ruang-Ruang Menonton dan Arsip Filem”. Dalam sesi diskusi panel pertama ini kami mengundang para pembicara, seperti Suluh Pamuji (Klub DIY Menonton), Hardiwan Prayoga (Bioskop Festival Kesenian Yogyakarta), Rugun Sirait (Festival Film Dokumenter), dan Arie Kama (Cafe Society). Luthfan Nur Rochman, salah satu Tim Kultursinema berperan sebagai moderatornya.

Dalam panel ini, audiens diajak untuk berdiskusi dengan latar belakang, bahwa filem memiliki beragam lapisan sudut pandang sehingga ia memiliki peluang untuk dibaca dan dijelajahi dari sudut pandang satu ke sudut pandang lainnya. Misalnya, di suatu hari, satu filem bisa saja dibaca dengan sudut pandang politik, namun di kemudian hari, ia hanya dibaca dari sudut pandang ekonomi. Di sisi lain, arsip-arsip filem merupakan salah satu sumber inspirasi dan materi penayangan bagi ruang-ruang menonton. Penggunaan dan pengelolaan arsip-arsip tersebut bisa menjadi salah satu strategi bagi ruang-ruang menonton tersebut untuk dapat bertahan hidup di tengah-tengah situasi produksi filem yang lesu.

Kemudian, pada 4 April 2019, diputar dua buah filem yang berjudul Tie Pat Kai Kawin (Siloeman Babi Perang Siloeman Monjet) karya The Teng Chun tahun 1935, dan Matjan Berbisik karya Tan Tjoei Hock tahun 1940. Pada filem Tie Pat Kai Kawin (Siloeman Babi Perang Siloeman Monjet), The Teng Chun memilih kisah siluman babi Tie Pat Kai sebagai tokoh utama. Filem ini penuh dengan gambar-gambar fantasi dan trik-trik sinema sederhana. Di tahun 1930-an, filem-filem fantasi siluman dan cerita rakyat Tiongkok lainnya sangat populer di Indonesia. Filem ini merupakan filem tertua yang masih tersimpan di Sinematek Indonesia dan filem yang dapat mewakili periode sejarah sinema Indonesia sebelum meledaknya Terang Boelan (1937). Filem Matjan Berbisik diproduksi oleh Action Film, salah satu divisi di perusahaan Java Industrial Film yang khusus membuat filem-filem laga. Skenario filem ditulis sendiri oleh sang sutradara, Tan Tjoei Hock. Dalam publikasinya, filem yang memiliki judul dalam bahasa Belanda, De Fluisterende Tijger ini diperuntukkan bagi semua usia, termasuk anak-anak.

Pada hari ketiga, yaitu 5 April 2019, ada diskusi panel kedua Forum Kultursinema. Pada diskusi ini dihadirkan Christopher Woodrich, seorang akademisi yang meneliti iklan-iklan filem Indonesia, dan Umi Lestari, seorang kritikus filem muda. Pembicara pada diskusi ini berbicara mengenai sejarah filem, yang mencakup sejarah teknologi, sejarah stilistika, sejarah sosial, bahkan sejarah politik. Selain kritik filem, karya-karya yang lazim ditemukan juga adalah teks akademis yang membahas konteks sosiologis dan budaya dari kultur sinema Indonesia, bahkan menjadikan arsip filem sebagai sumber data untuk kajian sejarah. Akan tetapi, tulisan yang menggunakan bingkai penulisan sejarah sistematis dan berlaku sebagai kanon sejarah filem belumlah lagi ditulis semenjak Misbach Yusa Biran, Taufik Abdullah, dan S.M. Ardan dengan buku mereka Film Indonesia Bagian I (1900-1950). Selain itu, penulisan sejarah filem Indonesia pun masih menyisakan lubang kajian yang besar yaitu sejarah estetika filem Indonesia.

Pemutaran filem kedua diadakan pada 6 April 2019, pukul 19.00. Filem yang ditayangkan adalah Gagak Item karya Joshua Wong dan Othniel Wong (1939), dan Srigala Item karya Tan Tjoei Hock (1941).  Filem Gagak Item adalah filem drama kepahlawanan yang dibumbui komedi. Filem ini dimainkan oleh Rd. Mochtar dan Roekiah, sedang cerita ditulis oleh Saeroen, yang juga penulis cerita filem Terang Boelan. Terang Boelan juga menginspirasi filem ini dan menghadirkan sedikitnya empat adegan musikal yang melibatkan komponis Hugo Dumas dan penyanyi keroncong Annie Landouw yang tergabung dalam kelompok keroncong modern, Lief Java. Filem kedua, Srigala Item, yang judul bahasa Belanda-nya De Zwarte Wolf, pernah diputar tidak hanya di bioskop-bioskop bagi penonton kalangan kelas bawah, tetapi juga diputar di bioskop-bioskop kelas atas seperti Cinema Palace dan Princess. Filem ini terinspirasi dari cerita Zorro yang telah dibuat versi filemnya dan ditayangkan di Hindia-Belanda pada tahun 20-an. Berbeda dengan filem-filem lain yang disutradarai Tan Tjoei Hock yang juga memegang kamera, penata kamera filem ini dipegang oleh The Teng Gan, adik The Teng Chun.

Panel terakhir dari rangkaian diskusi Forum Kultursinema diadakan pada 7 April 2019 sekaligus menutup Pameran Keliling Kultursinema di Yogyakarta ini. Diskusi ini menghadirkan Agan Harahap, seorang seniman yang berkarya berdasarkan arsip foto, Lisistrata Lusandiana, Direktur IVAA, dan Afrian Purnama, kurator filem dan salah satu Tim Kultursinema. Panel ini membicarakan arsip yang merupakan rekaman dari kejadian di masa lampau, yang telah diberi konteks latar belakang situasi pada saat suatu kejadian berlangsung. Pembaca arsip di masa kini tentulah punya latar belakang dan persepsi sendiri akan arsip tersebut. Panel ini ingin membahas bagaimana para pembicara melihat dan menginterpretasikan arsip, kemudian mengelola arsip menjadi suatu bentuk produk seni baru yang tentunya memiliki relevansinya sendiri, dan kemudian bisa membuka kemungkinan-kemungkinan interpretasi baru akan sejarah oleh pemirsa.

Tahun
2019

Yogyakarta, Indonesia

X